Pertanyaannya adalah apakah seni itu alat atau tujuan?. Kalau jawabannya “seni hanyalah alat untuk mencapai atau menyampaikan sesuatu”, maka jenis golongan ini mengartikan seni sebagai alat. Seperti yang dianut kebanyakan orang Indonesia sejak dulu.
Namun di Eropa sejak abad 18 berkembang apa yang didalam filsafat seni disebut disinterestedness (tanpa kepentingan). Semboyannya yang terkenal adalah “Seni untuk seni”. Seni adalah sebuah empati, keterleburan pribadi ke dalam yang disebut seni.
Kualitas keindahan adalah ciri seni yang utama. Kualitas ini hanya dapat dialami. Kualitas emosi, bentuk, struktur, ekstrinsik dalam seni harus berada di luar keseharian kita ( seni adalah pembebasan). Dalam hubungannya dengan realitas, seni bersifat fiktif. Namun seni bukanlah suatu kebohongan besar, seni disebut fiktif (bohong) karena tujuannya adalah menggapai dunia lain yang berbeda dengan dunia realitas keseharian.
Nilai-nilai esensial adalah tujuan pencapaian kaum estetik ini. Nilai-nilai ini menggapai ukuran universal yang relatif dapat dikatakan absolut. Maka penilaiannya pun harus universal. Sementara penganut “seni untuk masyarakat” menekankan nilai-nilai eksistensial, nilai-nilai yang terjadi disini dan dimasa sekarang. Maka dapat dinilai dengan ukuran kontekstual.
Perbedaan pandangan dalam seni akan berlangsung terus. Dan ini tidak menentukan apakah “seni sebagai alat” lebih baik dari “seni sebagai tujuan”, ataupun sebaliknya.
Tetapi pada kenyataanya setiap seniman bekerja diantara kedua pandangan tersebut. Sebab bagaimana pun seni itu orientasinya untuk orang lain, bukan untuk diri seniman sendiri. Apa yang dilakukan tetap untuk masyarakatnya. Dua pandangan tersebut tidak harus diperlakukan secara fanatik, lebih baik kalau keduanya kita renungkan dan kita aplikasikan sesuai dengan misi kepribadian masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar